tag:

09 December 2008

Death in Family: Part 2

Sabtu pagi selepas subuh waktu itu, berdering telpon rumah gue. Sejenak sebelum gue angkat, perasaan ngga enak udah muncul di hati. Dan benarlah, kabar duka yang sampai: salah seorang sahabat dari almarhum Bokap gue meninggal dunia!

Rasa kehilangan langsung semakin tajam menusuk perasaan. Gue nggak pernah mengenal secara dekat dengan keluarga Beliau, istri dan anak-anaknya, tapi Beliau malah sudah seperti Bokap gue sendiri. Beliau adalah partner Bokap dalam ‘mencari Tuhan’ dan nyaris tak terpisahkan dalam proses pencarian mereka. Almarhum Bokap selalu berlaku seperti kakak untuk Sang Sahabat, sekalipun Sang Sahabat berusia lebih tua darinya. Karakter mereka hampir mirip sekalipun Sang Sahabat lebih lugas dalam berlaku dan menyampaikan sesuatu. Beliau juga yang menjadi salah satu saksi waktu gue menjadi Mu’allaf, mengucapkan syahadat di salah satu mesjid besar di Jakarta. Dengan Beliau juga gue bisa berdiskusi tentang apa pun seperti diskusi-diskusi lainnya yang pernah gue lakukan dengan almarhum Bokap.

Semakin terasa sedih karena beberapa bulan terakhir gue ngga pernah secara langsung kontak dengan Beliau. Padahal ngga jarang sebelumnya gue sering bertelepon ataupun bertukar pesan singkat di ponsel. Saat Hari Raya kemarin gue memang mendapat kabar bahwa beliau sedang sakit. Hanya saja gue sebatas menduga penyakit diabetes yang memang diderita Beliau sejak lama itu sedang kumat sementara saja.

Sebagai wakil keluarga, segera saja gue siap-siap berangkat menuju rumah duka di kawasan Bulak Kapal, Bekasi Timur. Jarak yang jauh rasanya pingin segera gue habisi supaya bisa segera sampai ke sana. Gue kontak semua sahabat Bokap dengan harapan bisa berangkat bersama. Akhirnya di Terminal Bis Grogol bisa juga berangkat bersama salah seorang sahabat Bokap. Lalu lintas Sabtu pagi itu cukup bersahabat, jarak yang cukup jauh pun dapat ditempuh dengan nyaman dan lancar sekalipun hanya dengan menumpang angkutan umum.

Sepanjang perjalanan yang terasa jadi singkat itu, gue banyak ngobrol dengan sahabat Bokap itu. Salah satu topik di antaranya adalah kejadian-kejadian sebelum Sang Sahabat meninggal yang bisa jadi merupakan pertanda bahwa Beliau akan meninggal dunia. Dan kejadian-kejadian itu mirip dengan kejadian-kejadian sebelum Bokap gue meninggal dunia. Selain kejadian-kejadian pertanda tersebut, kami juga sedikit membahas kejadian-kejadian yang bisa dianggap mistis seputar kematian Sang Sahabat. Namun hal itu sebatas intermezzo saja.

Kami sampai juga di rumah duka sekitar pukul 8.30. Ternyata sahabat-sahabat lainnya sudah juga berdatangan. Dan seperti di waktu-waktu lalu, kala mereka berkumpul tidak pernah menjadi suasana duka ataupun bersedih. Malah mereka cenderung ceria. Mungkin aneh dalam suasana duka di rumah itu. Tapi mereka selalu percaya bahwa semua kejadian adalah takdir dari Yang Maha Kuasa, sehingga tidak perlu lagi ditangisi. Mereka semua pun percaya bahwa Sang Sahabat meninggal dunia dalam keyakinan iman terbaiknya. Sekalipun secara lahiriah, kehidupan Sang Sahabat masih cukup berat karena anak-anaknya masih terlalu muda untuk ditinggalkan.

Sambil ngumpul, gue denger cerita bahwa Almarhum pada minggu-minggu terakhir dalam hidupnya masih sempat menyaksikan film Laskar Pelangi. Dan Beliau amat sangat menyukai film tersebut!! Beberapa Sahabat lainnya sempat bercerita bahwa pada hari-hari akhirnya Beliau sibuk menceritakan segala kebaikan dan keindahan film tersebut kepada semua Sahabat yang menjenguknya di rumah. Dan seperti biasanya, Beliau tidak akan bisa dipotong apabila sedang menceritakan sesuatu yang menurutnya baik dan bagus.

Gue langsung terkenang Almarhum Bokap yang selalu jadi teman berdiskusi tentang apa aja, yang kepergiannya bikin gue kehilangan tempat cerita kalo gue habis nonton film bagus ato selesai baca buku bagus. Kami ngga pernah habis berdiskusi soal film The Godfather. Yang menarik kami pernah berdiskusi panjang tentang inti cerita novel The Da Vinci Code, yang pada saat itu gue masih memeluk ada Kristen Katholik. Kami mendiskusikan kemungkinan-kemungkinan logis yang disampaikan novel itu.

Di Bulak Kapal gue mendapat kabar duka lagi. Ponsel gue berdering dan ternyata salah satu sepupu jauh mengabarkan Pak De meninggal dunia pagi itu juga sekitar pukul 5 dan akan disemayamkan siang itu di rumah duka di kawasan Pamulang. Dan segera kabar itu gue teruskan ke Nyokap di rumah. Saat itu rasanya pingin gue membelah diri supaya bisa hari di dua rumah duka pada saat yang bersamaan. Jarak yang jauh membentang antara Bulak Kapal dan Pamulang. Terbayang ngga akan sempat terkejar kalau saja gue berniat menyambangi jenazah Pak De di Pamulang setelah pemakaman Sang Sahabat di Bulak Kapal.

Pada saatnya dulu, kami sekeluarga pernah cukup dekat dengan Pak De. Bahkan Almarhum Bokap sempat menganggap Pak De sebagai panutan yang perlu dicontoh. Ada kalanya dulu Bokap selalu betah berlama-lama di rumah Pak De. Gue yang waktu itu masih kecil ngga terlalu memperhatikan sih, yang penting bisa seneng-seneng di rumah bagus berfasilitas lengkap. Sekalipun sudah sejak lama juga Bokap ngga lagi menganggap Pak De sebagai panutan, tapi hubungan mereka dan keluarga tetap baik selayaknya saudara dalam sebuah keluarga besar. Terakhir kali Beliau masih sempat mewakili keluarga besar Kartowidjojo menyampaikan beberapa patah kata di pemakaman Bokap.

Dalam beberapa tahun terakhir ini, Pak De menderita sakit kanker usus. Sudah beberapa kali kami mendapat kabar Pak De sempat diarawat di rumah sakit. Karena keterbatasan sumber daya, kami sekeluarga belum bisa menjenguk Beliau. Tapi beberapa kali gue masih sempat bertukar pesan singkat melalui ponsel. Nomor ponsel Beliau banyak sekali.

Tenang-tenang gue di Bulak Kapal menunggu proses pemakaman Sang Sahabat. Sementara itu, ternyata kabar tentang proses perjalanan jenazah Pak De ke Pamulang masih simpang siur. Dari kabar awal, jenazah Pak De ditemukan meninggal di Ancol. Dan dari sana akan dibawa ke RSCM lebih dulu. Pamulang – Ancol kan jauh?! Di Ancol mana ada rumah sakit. Mungkin karena ditemukan meninggal jadi jenazahnya mesti divisum di RSCM.

Nyokap masih sempat menelpon Bu De untuk menyampaikan bela sungkawa dan menanyakan kabar. Dari cerita Nyokap, Bu De seperti terburu-buru dan agak misterius. Entah apa yang sebenarnya terjadi ya?!

Langsung maupun tidak langsung, gue melarang Nyokap dan anggota rumah gue untuk berangkat melayat ke Pamulang. Kami belum pernah sekalipun ke rumah Pak De di Pamulang. Apalagi sisa anggota keluarga gue di rumah perempuan semua; Nyokap, Istri gue dan Adik gue. Ngga mungkin gue membiarkan mereka perempuan bertiga berangkat ke Pamulang dengan tujuan yang belum pernah mereka sambangi sebelumnya. Kami cuma bisa menunggu kabar lebih lanjut tentang jenazah Pak De.

Sambil menunggu sana dan sini, setelah dipikir-pikir lalu gue berkesimpulan bahwa semua yang terjadi memang seperti disesuaikan dengan apa yang pernah kita perbuat sebelumnya. Siapa pun kita yang hidup pasti terkait dengan semua mahkluk di sekitar kita.

Kenapa kabar meninggalnya Pak De baru sampai setelah gue tiba di Bulak Kapal?? Kalo aja kabar kematian Pak De gue terima duluan, mungkin aja kan gue saat itu udah sampai di Pamulang ato minimal gue lagi nunggu visum jenazah di RSCM?! Jelas-jelas Pak De itu masih ada hubungan darah, sekalipun Beliau ‘cuma’ sepupu Almarhum Bokap. Sedangkan saat itu gue sedang melayat ke rumah Sahabat Bokap yang tidak ada hubungan darah sama sekali.

Dari sisi perjalanan ke rumah duka pun koq bisa gue lancar-lancar aja sampai ke Bulak Kapal dan masih sempat ketemuan dulu dengan salah seorang Sahabat Bokap lainnya. Sedangkan untuk ke Pamulang, seperti jauh langkah. Bukannya gue menyalahkan saudara-saudara lain yang seperti sibuk sendiri, tapi sepertinya kepastian informasi keberadaan jenazah Pak De minim sekali.

Belakangan kami baru tahu bahwa jenazah Pak De masih divisum di RSCM sampe pukul 4 sore. Andai saja informasi ini bisa segera kami ketahui, mungkin aja kan gue bisa menyusul ke sana.

Yah bisa jadi banyak kesalahan gue yang tidak aktif mencari tahu informasi keberadaan jenazah Pak De. Dan bukan juga minta dimaklumi bahwa hari itu gue cukup lelah karena pada pukul setengah enam pagi sudah mulai berangkat ke Bulak Kapal.

Mohon ma’af kepada semuanya apabila gue seperti memilih-milih saudara. Mohon ma’af karena kurang kuatnya usaha gue untuk bisa hadir melayat jenazah Pak De.

Sepanjang hari di Bulak Kapal, gue ngga jadi terus murung karena sekali lagi ditinggal oleh sosok yang mirip sekali dengan Bokap. Sepanjang hari itu gue malah banyak senyum dan penuh canda. Rasa suka cita malah memenuhi perasaan karena gue bisa sekali lagi berkumpul dengan Sahabat-sahabat Bokap. Ada rasa haru, tapi tidak sampai menitikkan air mata.

Tapi rasa kehilangan memang ngga bisa dibuat-buat. Sampai di rumah, teringat lagi Sang Sahabat yang amat sangat menyukai film Laskar Pelangi. Dan begitu lagu-lagu dari film itu gue dengerin di depan PC, mulailah gue terisak. Gue mulai menangisi kepergian Beliau. Dan semakin menangis karena teringat kedekatan Beliau dengan Bokap. Dan lagu yang terngiang di telinga menjadi:
“………..fly me up to where you are beyond the distant star……..
…………I wish upon tonight to see you smile…………….
………….it’s only for a while to know your there………….
………….a breath away not far to where you are…………….” *)
*) ‘To Where You Are’ by Josh Groban







PS:
Nulis judulnya gue hati-hati banget deh, karena gue inget komentar-komentar kocak almarhum Bokap gue. Dia selalu ngeledekin judul-judul sinetron nekad yang dibuat berpanjang-panjang sampai jadi season 2 dan seterusnya. Contohnya, dulu pernah ada sinetron yang judulnya ‘Jalan Lain ke Sana’. Trus deh karena dianggap laku, biasa deh jadilah season 2 sinetron itu dengan judul ‘Jalan Lain ke Sana 2’. Dan almarhum Bokap gue dengan santai membaca judul tersebut jadi ‘Jalan Lain ke Sana-sana’ :D

No comments: